Hai,, yang ngaku orang Batang, Jawa Tengah...
pasti kalian akrab banget ma yang namanya "Kliwonan"..
Tapi kalian tau tidak tentang asal usul kliwonan...??????
whattttsss???tidak tau????? hmmmm... ckckckck....
yaudah..sekarang tak kasih tau..
ini nih ceritanya... =D
Tradisi Kliwonan di Kabupaten Batang
Awal Mula Munculnya
Tradisi Kliwonan
Tradisi didefinisikan sebagai cara
mewariskan pemikiran, kebiasaan, kepercayaan, kesenian dari generasi ke
generasi, dari leluhur ke anak cucu secara lisan. Tradisi merupakan hasil cipta
dan karya manusia yang mempunyai obyek material, kepercayaan, khayalan,
kejadian atau lembaga serta diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya (Koentjaraningrat. 1990:45). Tradisi Kliwonan telah berjalan secara
turun-temurun dari generasi nenek moyang sampai generasi selanjutnya anak cucu.
Pada malam Jumat Kliwon di alun-alun Batang, dan tradisi Jumat Kliwon merupakan
suatu rangkaian tradisi yang telah menjadi salah satu pola kehidupan masyarakat
setempat. Namun tidak dapat diketahui secara pasti kapan tepatnya tradisi
tersebut pertama kali dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya.
Tradisi malam Jumat Kliwon atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Kliwonan berkaitan dengancerita rakyat atau
legenda dari daerah setempat yaitu Kabupaten Batang. Pada mulanya tradisi ini
diadakan dengan maksud untuk mengenang jasa leluhur dan nenek moyang Batang
yang dulunya telah membangun daerah Batang. Tradisi Kliwonan yang dulunya
digunakan untuk ajang melakukan ritual-ritual sederhana kemudian berkembang
seperti sekarang ini.
Kliwonan di daerah Batang mengalami
perubahan dari bentuk dan fungsi yang secara sesungguhnya. Pada awalnya Tradisi
Kliwonan merupakan sarana atau tempat pengobatan bagi orang sakit. Seiring
dengan perkembangan masyarakat yang mencakup multi dimensi, tradisi Kliwonan
mengalami perubahan fungsi menjadi sebuah pasar yang sering disebut dengan
pasar kliwonan. Tradisi kliwonan ini diselenggarakan di alun-alun Kota Batang
setiap 35 hari sekali atau disebut selapan dina menurut perhitungan Jawa
tepatnya pada malam Jumat Kliwon.
Menurut cerita Tradisi Kliwonan pada
masa itu bermula ketika pada jaman pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan
Mataram, Batang dahulu masih berupa hutan-hutan besar dan luas yang disebut
Alas Roban. Di Alas Roban ini ada sekelompok perampok yang sangat berbahaya dan
selalu meresahkan masyarakat setempat, kadang juga mengganggu orang-orang yang
lewat di daerah tersebut.
Sultan Agung dalam upaya memperluas
wilayah Kerajaan Mataram, memerintahkan seorang punggawa kerajaannya yang sakti
bernama Ki Ageng Cempaluk dengan menebang hutan Alas Roban dan sekaligus
memusnahkan para perampok di hutan tersebut. Alas Roban ini nantinya akan
dijadikan lahan persawahan yang selain untuk pertanian bagi masyarakat, juga
untuk mencukupi kebutuhan bahan makanan bagi prajurit Mataram yang sedang
berperang melawan Belanda (Buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang, tidak
diterbitkan 1984).
Punggawa kerajaan yang telah
mendapatkan perintah dari Sultan Agung tersebut kemudian memerintahkan anak buah
sekaligus muridnya yang bernama Joko Bahu atau Bahurekso. Pelaksanaan tugas
dimulai dengan penebangan hutan, dan pembuatan bendungan di sungai Lojahan.
Bendungan di sungai Lojahan tersebut digunakan untuk mengairi persawahan di
daerah tersebut. Tetapi dalam melaksanakan tugas tersebut Bahurekso mendapat
perlawanan dari perampok. Pertempuran sama-sama kuatnya di kedua belah pihak
dan tidak ada yang terkalahkan. Tapi dengan perlawanan yang kuat, akhirnya
Bahurekso berhasil mengalahkan para perampok tersebut (Buku Kumpulan Cerita di
Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).
Setelah perlawanan Bahurekso selesai
kemudian mulai melanjutkan penebangan hutan dan dilakukan dari arah timur yaitu
mulai daerah Subah ke Barat hingga ke Sungai Lojahan. Di Sungai tersebut
kemudian dibangun sebuah bendungan yang digunakan untuk menampung dan
mengalirkan air sungai tersebut ke daerah yang baru saja ditebang pohonnya,
sehingga lahan tersebut menjadi lahan yang siap tanam. Pada waktu Bahurekso
membangun bendungan di Sungai Lojahan, pernah bersemedi di tepi Sungai ini pada
hari Jumat Kliwon, dengan maksud agar proses pembuatan bendungan di tepi sungai
tersebut berhasil.
Peristiwa itulah yang kemudian
dikenal dengan nama sungai Kramat, karena sungai tersebut dipercaya mempunyai
hal yang berbau keramat. Menurut buku Kumpulan Cerita di Kabupaten Batang yang
tidak diterbitkan, bahwa kata Batang berawal dari kata Ngembat Watang yang
ceritanya berawal dari ketika Bahurekso sedang melaksanakan pembangunan
bendungan di sungai Lojahan terdapat kayu besar atau watang yang melintang di
sungai tersebut sehingga pembuatan bendungan mengalami sedikit kesulitan.
Kemudian Bahurekso melakukan semedi atau untuk mendapatkan kekuatan gaib.
Setelah bersemedi segeralah Bahurekso menuju ke pohon watang yang melintang
tersebut dan mengangkat serta mematahkan kayu tersebut atau dikenal dengan
istilah ngembat watang. Melalui kejadian tersebut maka daerah di tempat
Bahurekso melakukan pembangunan tersebut kemudian dikenal dengan nama Batang
hingga sampai sekarang ini menjadi Kabupaten Batang (Buku Kumpulan Cerita di
Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).
Batang kemudian menjadi suatu daerah
walaupun tidak besar, tidak ada sumber yang menyebutkan bagaimana mengenai
Bahurekso. Namun beliau dianggap sebagai leluhur masyarakat Batang. Pada suatu
ketika ada seorang keturunan Sunan Sendang (Sayid Nur atau Raden Nur Rachmat)
dari desa Sendang Dhuwur di Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur
yang bernama Pangeran Alit atau dikenal dengan sebutan Raden Joko Cilik
mendapatkan wangsit dalam mimpinya agar ia pergi ke barat Alas Roban untuk
melaksanakan dakwah.
Kemudian beliau berangkat ke Batang.
Batang termasuk wilayah dari Karajaan Mataram maka sebelum berangkat beliau
minta ijin kepada wakil Raja Mataram di Ngembat Watang adalah batang pohon yang
melintang di sungai Lojahan Jepara untuk membangun daerah Batang (Buku Kumpulan
Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).
Pada saat itu Batang di bawah
kekuasaan Bupati yang bernama Pangeran Mandurejo. Kemudian Pangeran Joko Cilik
dijadikan pejabat Bupati di Batang untuk membantu pemerintahan Kabupaten
Batang. Pangeran Mandurorejo tidak langsung memerintah Batang, karena dalam
kesehariannya beliau mendampingi Sultan Agung di Kerajaan Mataram. Pengeran
Madurorejo selain menjadi Bupati pertama di Batang, beliau juga panglima perang
Sultan Agung saat menyerang VOC di Betawi.
Pelaksanaan pemerintahan Kabupaten
Batang dipercayakan kepada Raden Joko Cilik hingga masa pemerintahan Bupati ke
II yaitu Kanjeng Ratu Batang (Sekar Ayung atau Putri Prahila) yang merupakan
putri dari Pangeran Madurorejo. Saat menjadi pejabat Bupati tersebut, beliau
juga menjadi pendahulu Batang dan kerap menjadi imam Masjid Agung Batang, di
mana beliau juga ikut andil dalam pembuatan masjid tersebut (Buku Kumpulan
Cerita di Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984)
Tradisi Kliwonan yang sekarang ini
pada mulanya diadakan dengan pertimbangan untuk mengenang para leluhur
masyarakat Batang yaitu Bahurekso yang dahulu pernah bersemedi di sungai
Lojahan atau Kramat. Terdapat kebiasaan di makan Sunan Sendang atau Sayid Nur
pada setiap malam Jumat Kliwon banyak orang-orang datang ke sana untuk
berziarah, kemudian ditiru oleh masyarakat Batang. Masyarakat Batang khususnya
para orang tua sering bersemedi di sungai Kramat (Buku Kumpulan Cerita di
Kabupaten Batang, tidak diterbitkan, 1984).
Mengenai tradisi yang dilaksanakan
di alun-alun Batang pada hari Kamis Wage yaitu berupa upacara ngalap berkah
(mencari Berkah) dan juga dalam rangka penyembuhan dan kesehatan untuk
anak-anak kecil dengan melakukan beberapa ritual yaitu ritual gulingan, mandi
di Masjid Agung Batang dan membuang pakaian bekas yang dipakainya sewaktu
ritual gulingan dan membagi-bagikan uang logam serta makanan khas pasar (jajan
pasar). Air yang digunakan untuk membasuh muka atau untuk mandi dalam ritual
tersebut terletak di tempat wudlu Masjid Agung sebelah selatan dan konon air
tersebut berasal dari mata air yang terdapat di dekat makam Sunan Sendang yang
dibawa Raden Joko Cilik ke Batang. Air itu dipercaya dapat menyembuhkan
penyakit atau menghindari dari segala penyakit.
Nilai yang
Terkandung dalam Tradisi Kliwonan
Setiap benda alam sekitar yang
disentuh dan dibudidayakan manusia mengandung suatu makna dan nilai. Nilai atau
makna yang diperoleh manusia bermacam-macam, misalnya nilai sosial, ekonomis,
keindahan, keagamaan dan sebagainya. Setiap hasil karya manusia, menyimpan
bentuk dan isi kemanusiaan. Oleh karena itu setiap benda budaya menunjukkan
maksud, nilai serta gagasan-gagasan penciptanya.
Salah satu fungsi dari upacara
tradisional adalah sebagai penguat norma-norma serta nilai-nilai budaya yang
telah berlaku. Norma-norma dan nilai-nilai budaya tersebut secara simbolis
ditampilkan melalui peragaan dalam bentuk upacara dilakukan oleh seluruh warga
masyarakat pendukungnya. Upacara tradisi merupakan salah satu ungkapan budaya
yang banyak mengandung nilai-nilai yang dapat diteladani dan diinternalisasikan
oleh generasi penerus. Kliwonan ini dikatakan suatu tradisi karena dilaksanakan
secara turuntemurun dan dipercaya oleh masyarakat mempunyai banyak makna serta
nilai-nilai di dalamnya. Seperti halnya dalam tradisi Kliwonan yang sekarang
ini kemudian memunculkan empat unsur nilai budaya, sosial, agama dan
ekonomi yang merupakan perangkat struktur dalam kehidupan masyarakat Batang
terkait dengan tradisi Kliwonan ini baik secara individu maupun secara sosial.
Nilai-nilai budaya dalam tradisi
Kliwonan telah menyatu dengan jiwa masyarakat pendukungnya tanpa mereka sadari,
seperti solidaritas diantara masyarakat pendukung. Dalam tradisi ini tidak
terdapat norma-norma mengikat, sistem hukum, dan aturan-aturan khusus yang
dilakukan. Norma aturan tersebut adalah suatu kesepakatan bersama yang tidak
tertulis, secara sadar dan tidak sadar mereka melaksanakan tradisi Kliwonan
sesuai dengan cara dan kebiasaan mereka tersebut, seperti pelaksaan ritual
mandi, berdagang dan berjalan-jalan.
Nilai budaya bersifat umum, abstrak
dan luas, namun nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan selalu menjadi bagian
dari jiwa dan emosional warga yang bersangkutan, karena sejak kecil dia telah
meresapi nilai-nilai budaya dalam masyarakat tempat ia tinggal. Oleh karena itu
konsep-konsep mengenai nilai budaya dalam kebudayaan tersebut telah berakar
memenuhi ruang jiwanya.
Nilai budaya mencakup tiga bagian,
yaitu moralitas, estetika dan etos. Namun dalam tradisi Kliwonan yang
terkandung di dalamnya adalah nilai moralitas dan etos. Nilai mentalitas suatu
penilaian terhadap tindakan yang dianggap baik. Dan setiap budaya pasti
mempunyai kategori dan standar untuk mengevaluasi tingkahlaku atau tindakan
tindakan berpola manusia. Dalam tradisi Kliwonan nilai moralitas mencakup pada
solidaritas diantara masyarakat pendukung, tindakan berpola yang terdapat dalam
tradisi Kliwonan yang dianggap pantas, hubungan dengan anggota-anggota baru dan
nilai ketertiban (Koentjaraningrat, 2002:35).
Solidaritas dan gotong-royong merupakan
ciri-ciri utama hidup kemsyarakatan orang Jawa yang kenal dengan semangat
tolong-menolong dan sebagainya. Jadi jika ada orang yang suka dengan bersamaan
dan tinggi rasa solidaritasnya maka ia akan dianggap baik dan kadang bisa
dijadikan panutan. Memang seiring dengan arus globalisasi, semangat solidaritas
sudah sedikit mengalami kemunduran, begitu juga dengan sebagian kecil orang
Jawa. Mereka yang khususnya hidup di kota-kota besar karena sudah sibuk dengan
urusannya masing-masing cenderung tidak perduli dengan keberadaan orang lain.
Namun lain halnya dengan penduduk yang berdomisili di daerah pedesaan atau
kota-kota kecil yang masih memiliki rasa solidaritas dan gotong-royong diantara
sesamanya yang membutuhkan. Dalam tradisi Kliwonan nilai solidaritas tidak
begitu besar diantara masyarakatpendukungnya. Hal tersebut karena tradisi
Kliwonan adalah suatu peristiwa yang hanya terjadi 35 hari sekali, jadi
masyarakat pendukungnya hanya sekali saja pada hari tersebut. Kemudian mereka
akan pergi meninggalkan tradisi Kliwonan menuju ke tempat tujuan masing-masing.
Disisi lain dengan hanya pertemuan yang sekali itu akan terjadi berkali-kali
pertemuan yang dapat menimbulkan rasa kebersamaan dan solidaritas di antara
mereka, khususnya yaitu para pedagang. Mereka berasal dari berbagai daerah,
suku bangsa dan budaya. Dengan adanya pertemuan para pedagang di pasar Kliwonan
mereka dapat saling kenal dan kemudian saling membutuhkan. Para pedagang
tersebut pada umumnya tidak merasa saling menyaingi satu dengan yang lainnya
atau iri dengan hasil keuntungan orang lain ketika berdagang di Kliwonan.
Mereka beranggapan bahwarejeki masing-masing orang sudah diatur oleh Tuhan, dan
bahwa tradisi Kliwonan pasti membawa berkah bagi orang yang berjualan di
Kliwonan. Memang tidak terdapat komunitas khusus atau paguyuban antar pedagang
di tradisi Kliwonan.
Mereka biasanya hanya datang dan
pergi begitu saja ketika tradisi Kliwonan sudah selesai. Namun hal tersebut
tidak menghalang-halangi bagi masyarakat pengunjung untuk tidak saling mengenal
dan mengakrabi. Tindakan berpola dalam tradisi Kliwonan meliputi pelaksaan
ritual mandi dan membuang pakaian, berdagang untuk memberi keuntungan dan juga
untuk mendapatkan berkah, berjalan-jalan memutari alun-alun, bersodaqoh di
kotak amal Masjid Agung, menonton hiburan di jalan Veteran, dan perilaku
lainnya yang biasa dilakukan orang-orang layaknya di pasar dan di tengah
keramaian. Tindakan berpola dikatakan sebagai nilai moralitas karena bagi
masyarakat pendukung Kliwonan telah mempunyai tindakan berpola tersendiri yang
menjadi simbol yang dianggap pantas bagi masyarakat pendukungnya. Memang tidak
ada sanksi tersendiri bagi seseorang jika tidak melakukan berpola sesuai dengan
adat dan kebiasaan di Kliwonan, namun akan menjadi hal yang aneh dianggap tidak
“afdhol” jika tidak melakukan hal-hal tersebut di atas.
Kebudayaan merupakan seperangkat
aturan dan norma yang dimiliki oleh suatu masyarakat, yang jika dilaksanakan
oleh para anggotanya, melahirkan perilaku dan tindakan berpola yang dianggap
layak dan dapat diterima oleh para anggotanya. Kliwonan menjadi suatu sistem
budaya yang memantapkan tindakan-tindakan dalam tradisi Kliwonan sehingga
menjadi suatu tindakan berpola. Tindakan tersebut berkaitan dengan yang lain,
seperti keramaian pasar malam Kliwonan yang mengundang antusias pengunjung
untuk meramaikannya atau untuk sekedar melihat-lihat atau memebeli barang yang
dibutuhkan. Sistem kepribadian yang dapat menciptakan pola perilaku seorang
anggota masyarakat pendukung Kliwonan yang juga dapat dipengaruhi oleh nilai
dan norma dalam tradisi tersebut.
Cara alamiah
sistem organik manusia menentukan kepribadian individu.
Tradisi Kliwonan merupakan tradisi
yang berupa pasar malam atau sebuah pasar biasa yang dilakukan pada sore hari
sampai malam hari. Layaknya sebuah pasar tentu saja di Kliwonan sangat ramai
oleh pedagang dengan barang dagangannya serta pengunjung yang berjalan-jalan
sehingga menambah keramaian tradisi Kliwonan. Keramaian di Kliwonan begitu luar
biasa. Terjadi antrian yang panjang di jalanan berpaving di laun-alun yang
dikanan kirinya terdapat banyak pedagang dengan barang dagangannya. Apalagi
jika tradisi Kliwonan terjadi pada tepat dengan tanggal muda di mana kebanyakan
masyarakat kita mendapat upah kerja pada tanggal tersebut. Seluruh ruas jalan
di alun-alun selalu padat orang-orang. Dan dalam keramaian tersebut situasi dan
kondisi terbilang cukup aman dan terkendali dengan kata lain pelaksanaam pasar
malam Kliwonan berjalan dengan lancar dan tertib. Hal itu menunjukkan adanya
nilai ketertiban yang tanpa sadar diciptakan oleh segenap masyarakat pendukung
tradisi Kliwonan. Ketertiban yang ada di Kliwonan diantaranya tidak terdapat
kerusuhan atau perkelahian baik di alun-alun atau pasar malam maupun di tempat
panggung pertunjukan kesenian dan pemutaran film. Walaupun berdesak-desakan di
dalam pasar, namun masyarakat pendukung tetap saling menghormati kepentingan
masing-masing dan menjaga ketertiban dalam pelaksanaan tradisi Kliwonan.
Ketentuan secara khusus atau pengenaan denda dari pemerintah setempat
mengenai ketertiban di Kliwonan. Jadi ketertiban tersebut tercipta dengan
sendirinya. Pemerintah kota hanya mengurusi masalah kontrak kepemilikan stand
untuk berjualan. Hal itu adalah salah satu antisipasi pemerintah setempat untuk
menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksaan tradisi Kliwonan.
Nilai budaya yang terkandung dalam
Kliwonan adalah etos, yang merupakan sebuah usaha untuk mengurangi kerumitan
pada sebuah sistem nilai, terhadap beberapa pola dasar yang mempengaruhi semua
bagian dari sistemnya dan menghitung kesesuaian, contohnya dengan ekonomi,
moral dan estetik.
Sebagian besar masyarakat pendukung
Kliwonan adalah orang Jawa. Orang Jawa terkenal dengan falsafah hidupnya yang
cenderung bersikap nrimo, sabar dan unggah-ungguh, yaitu nrimo sebagai sikap
yang mau menerima apa adanya, sabar yaitu sikap yang selalu mau melapangkan
hati dan tidak terburuburu dalam segala hal, serta unggah-ungguh yaitu etika
dan tata krama. Sistem berpikir yang bernuansa mitos juga terbawa pula untuk
hampir keseluruhan orang Jawa, baik mereka yang sudah tergolong maju. Jadi
orang Jawa begitu pula masyarakat pendukung Kliwonan sarat dengan
pemikiran-pemikiran yang berbau mitos. Sikap-sikap tersebut menjadi etos kerja
masyarakat pendukung tradisi Kliwonan adalah pandangan moral masyarakat
pendukung Kliwonan (pedagang) terhadap kerja. Para pedagang tidak begitu
berambisi dalam melaksanakankegiatan mencari untung di pasar malam. Mereka
cenderung bersabar dalam menunggu pembeli dan nrimo jika hasil penjualannya tidak
memberikan keuntungan yang banyak, namun mereka juga percaya adanya mitos
tentang berdagang di Kliwonan.
Masyarakat pendukung Kliwonan yang
mempunyai nilai kepercayaan atau mitos. Mitos berkembang dari jaman dahulu di
antara masyarakat pendukung tradisi Kliwonan hingga sekarang. Walaupun
masyarakat pendukung modern tidak begitu memperhatikan mitos-mitos tersebut
karena yang mereka lakukan di Kliwonan tidak maksud tertentu yang sangat khusus
mengenai mitos tersebut.
Mitos-mitos yang sering disebutkan
dan berkembang di antara masyarakatpendukung di Kliwonan adalah pelaksanaan
ritual jika ingin mendapatkan berkah (ngalap berkah) di antaranya adalah sarana
pengobatan atau penyembuhan penyakit dan mencari jodoh. Mitos lainnya adalah
jika berdagang di pasar malam Kliwonan pasti akan mendapat untung yang banyak,
makan Gemblong dan Klepon akan mendapat panjang umur, adanya sanksi dari alam
jika Kliwonan tidak dilaksanakan atau pindah lokasinya, dan juga ada
kepercayaan bahwa di antara pengunjung yang datang di pasar malam kliwonan yang
ramai dan sesak tersebut tidak semuanya adalah manusia tetapi juga dipadati
oleh makhluk halus.
Seperti yang diungkapkan di muka
bahwa pada tradisi Kliwonan pada masa dahulu masyarakat pendukung ikut
maramaikan tradisi karena khusus ingin melakukan ritual ngalap berkah. Namun
pada masa sekarang ritual tersebut dilakukan oleh sebagian masyarakat pendukung
saja, khususnya para ibu-ibu yang ingin mengobati anaknya.
Mengenai mitos berkah berdagang di
Kliwonan memang dipercaya oleh pedagang di tradisi Kliwonan. Dari penuturan
para pedagang yang sekarang mengakui bahwa mereka berdagang memang karena itu
adalah mata pencaharian mereka dan penghasilan sehari-hari mereka berasal dari
berdagang tersebut. Jadi mereka tidak begitu terobsesi oleh mitos tersebut.
Namun mereka juga mengakui bahwa mitos tersebut kadang ada benarnya, karena itu
terkihat dari pengorbanan atau modal mereka yang tidak sedikit untuk berdagang
di pasar Kliwonan. Walaupun mereka berasal dari luar daerah Batang, mereka tetap
datang untuk berjualan, padahal biaya untuk perjalanan menuju ke Batang saja
pasti sudah menghabiskan biaya yang banyak. Ternyata mereka tidak memperdulikan
hal tersebut, dan itu menjadi bukti bahwa mereka masih mengharapkan kebenaran
dari mitos berkah berdagang di Kliwonan.
Makan-makanan khas Kliwonan yaitu
Gemblong dan Klepon, hal tersebut pernah disarankan oleh Kanjeng ratu Bupati
(Bupati ke 11) pada jaman dahulu. Makanan Gemblong dan Klepon memiliki makna
tersendiri, yaitu Gemblong yang lengket dapat diartikan sebagai kerekatan antar
masyarakat pendukung Kliwonan (persaudaraan), kerekatan budaya dan kerekatan
jodoh sehubungan mitos ngalap bberkah dalam mencari jodoh di tradisi Kliwonan.
Gemblong yang berwarna putih dapat dilambangkan sebagai kesucian. Sedangkan
Klepon yang luarnya berwarna hijau dilambangkan sebagai keagamaan, yang artinya
tradisi Kliwonan (jaman dahulu) sarat dengan nilai-nilai agama, santan
dilambangkan sebagai inti perdalaman agama dan cairan gula di dalam Klepon yang
berwarna merah sebagai lambang keberanian. Namun bagi masyarakat pendukung yang
sekarang terkadang tidak terpengaruh oleh mitos tersebut karena memang sebagian
ada yang tidak tahu dan jika mereka tahu maka hal itu tidak begitu mempengaruhi
mereka. Alasan mereka membeli dan makan Gemblong-Klepon hanya karena suka atau
memang makanan kegemaran.
Mitos berikutnya yaitu mengenai
sanksi alam jika tradisi Kliwonan tidak dilaksanakan. Sebenarnya yang terjadi
mungkin bahwa sanksi alam tetapi masyarakat mempercayai hal itu sebagai kemarahan
nenek moyang mereka dan juga pohon beringin yang marah karena ini berbau
mistis. Tetapi suatu kali pernah pada jaman dahulu dan tidak diketahui pada
tahun berapa, bahwa pohon beringin di tengah alun-alun kota Batang meledak atau
terdengar suara ledakan. Kemudian masyarakat di sekitar menghampiri sumber
suara ledakan tersebut adalah seperti petasan atau mercon, tetapi di tempat
tersebut tidak ada bekas kertas-kertas atau sisa-sisa ledakan petasan. Maka
dari itu masyarakat mempercayai hal tersebut sebagai kemarahan pohon beringin.
Peristiwa tersebut terjadi setelah suatu saat tradisi Kliwonan atau pasar malam
tidak dilaksanakan, dan pernah ada rencana dari pemerintah setempat akan
memindahkan lokasi penyelenggaraan tradisi Kliwonan di lapangan Dracik Kelurahan
Proyonanggan Selatan Kecamatan Batang. Di tempat lapangan Dracik diharapkan
dapat menghindari kemacetan, karena termasuk daerah yang sepi. Hal tersebut
kemudian memberatkan para pedagang yang berjualan di pasar Kliwonan, karena
dianggap terlalu jauh dari jalan raya apalagi para pedagang yang berjualan di
Kliwonan, karena dianggap terlalu jauh akhirnya oleh masyarakat setempat
dipercaya bahwa leluhur dan juga pohon beringin tidak setuju jika lokasi
penyelenggaraan Kliwonan dipindahkan apalagi ditiadakan. Namun ada atau
tidaknya kepercayaan dan mitos tersebut tidak merugikan masyarakat pendukung
maupun pemerintah setempat, karena tradisi Kliwonan tetap tertib dan lancar
seperti sebagaimana adanya hingga sekarang ini.
Mitos lainnya adalah tentang keberadaan
makhluk halus yang ikut meramaikan tradisi Kliwonan. Dalam hal ini juga tidak
ada penjelasan secara khusus, karena hal ini menyangkut di luar nalar manusia.
Konon makhluk halus tersebut beramai-ramai datang ke Kliwonan dengan menjelma
menjadi manusia biasa. Ada pengakuan dari beberapa masyarakat pendukung yang
membenarkan keberadaan makhluk halus tersebut. Tetapi mereka (makhluk halus)
tidak mengganggu jalannya tradisi Kliwonan, terbukti dengan adanya tradisi
tetap berjalan dengan lancar dan tanpa ada kendala.
Makna dari
Tradisi Kliwonan bagi Masyarakat Batang dan Sekitarnya
Masyarakat Batang melakukan tradisi
Kliwonan dalam rangka untuk mengenang pendahulu mereka yaitu Bahurekso yang
telah membabad atau membuka daerah Batang. Salah satu alasan mengapa
dilaksanakannya tradisi ini pada hari Jumat Kliwon, karena pada hari tersebut
Bahurekso bertapa untuk mendapatkan kekuatan, sehingga dipercaya oleh para
keturunannya bahwa pada hari itu merupakan hari yang keramat. Selain untuk
mengenang jasa leluhur masyarakat batang, tradisi Kliwonan juga digunakan untuk
media ngalap berkah (mencari berkah), di antranya yaitu mencari jodoh, sarana
pengobatan, mencari keuntungan dalam berdagang. Jadi yang dimaksud dengan
ngalap, berkah dalam tradisi Kliwonan itu meliputi ritual sebagai sarana
pengobatan (guling-guling, mandi, membuang pakaian), berdagang untuk mencari
berkah, berkah dari makan Gemblong dan Klepon, mencari jodoh dan lain-lain.
Seiring dengan perkembangan jaman
tradisi Kliwonan ini pun mulai berkembang dan kemudian mulai berbentuk seperti
pasar malam. Kini maksud dantujuan melaksanakan tradisi Kliwonan pun mulai
bertambah yaitu ingin mencari rezeki bagi para pedagang di tengah keramaian dan
para pengunjung yang sekedar berjalan-jalan untuk mencari kesenangan di tengah
keramaian kota atau membeli barang yang ingin dibeli di pasar malam tradisi
Kliwonan. Masih ada sebagian masyarakat pendukung tradisi yang melakukan ritual
penyembuhan penyakit bagi anak kecil dan beberapa muda-mudi yang sedang mencari
jodoh yaitu dengan cara mencari kenalan dengan sesama pengunjung yang masih
muda. Jadi dalam tradisi Kliwonan ini masyarakat pendukungKliwonan pada umumnya
hanya ingin mencari hiburan pada tradisi tersebut, atau memang sengaja ingin
membeli barang yang diinginkan dan kepercayaan para pedagang terhadap berkah
berdagang di pasar malam Kliwonan. Telah dikemukakan diatas bahwa tradisi
Kliwonan adalah kegiatan yang dilaksanakan secara turun-temurun seiring
perkembangan daerah Batang. Tidak terdapat sumber dan data secara pasti kapan
pertama kali tradisi ini dilaksanakan dan tradisi ini berkembang sesuai dengan
perubahan sosial budaya dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat
pendukungnya.
Pelaku
Tradisi Kliwonan
Masyarakat pendukung tradisi
Kliwonan ini sangatlah beragam. Masyarakat pendukung terdiri dari pedagang
yaitu penjual barang dagangan dan penjual jasa, pengunjung yaitu pegunjung yang
berekreasi serta berbelanja dan pelaku ritual, seniman, pihak pemerintah
setempat yang bersangkutan dengan penyelenggaraan Kliwonan. Pedagang yang
berada di pasar kliwonan merupakan salah satu subjek dalam penelitian ini. Pada
mulanya pedagang di Kliwonan terbilang cukup sedikit.
Dulunya para penjual hanya diwakili
oleh penjual makanan seperti Gemblong dan Klepon serta kacang rebus, dan
penjual mainan anak-anak, karena banyak anak-anak yang diikutkan oleh
orang tuanya untuk disembuhkan dari penyakit. Kemudian terjadilah pergeseran
budaya, dimana para pedagang mulai memadati alun-alun Kota Batang yang antara
para pedagang tidak hanya penjual makanan saja tetapi juga terdiri dari
pedagang pakaian, tanaman hias, perabot rumah tangga dari plastik, sepatu atau
sandal, kaos kaki dan lain-lain. Dengan keadaan tersebut kemudian tradisi
Kliwonan dapat dikatakan sebagai pasar malam. Dengan keadaan tersebut kemudian
tradisi Kliwonan juga banyak yang berasal dari daerah luar Kabupaten Batang,
yaitu misalnya pedagang tanaman hias ada yang berasal dari Tawangmangu, Tegal,
Cirebon. Dan pedagang lainnya ada yang datang dari Pekalongan, Semarang,
Bandung, Surabaya dan bahkan dari Batam. Para pedagang tersebut biasanya
mengetahui adanya tradisi Kliwonan dari sesama teman pedagang. Para pedagang
yang berasal dari Batang maupun yang dari luar Batang mempunyai kepercayaan
bahwa kalau setelah berjualan di pasar malam kliwonan akan mendapatkan
pelanggan atau rejeki yang lebih banyak. Kepercayaan itu masih berlangsung
sampai sekarang. Tradisi Kliwonan bagi para pedagang merupakan salah satu ajang
besar untuk mencari rejeki. Sedangkan kategori penjual yang kedua adalah
penjual jasa yaitu tukang parkir. Jasa pemarkiran ini merupakan jasa dadakan
karena bukan mata pencaharian sehari-hari. Orang-orang yang menjadi tukang
parkir dadakan di sekitar alun-alun hanya jika ada pasar malam Kliwonan atau
acara-acara besar yang dilaksanakan di alun-alun.
Pengunjung tradisi ini kebanyakan
berasal dari Kabupaten Batang itu sendiri, dan mempunyai beragam tujuan
mendatangi kliwonan, yaitu pengunjung yang ingin berekreasi dan pengunjung yang
ingin melakukan ritual. Pengunjung juga banyak yang berasal dari luar Kecamatan
Kabupaten Batang, yang kebanyakan adalah para muda-mudi. Namun ada juga
pengunjung yang datang karena memang sengaja ingin membeli sesuatu barang di
tradisi ini. Pengunjung yang tadinya iseng untuk berjalan-jalan tidak menutup
kemungkinan dia tertarik dengan sesuatu barang dan kemudian membelinya.
Pelaku ritual ngalap berkah di
tradisi Kliwonan adalah kebanyakan orang-orang yang memandikan anaknya di
Masjid Agung Batang. Para pelaku ritual biasanya berasal dari luar warga
sekitar alun-alun Batang yang kebanyakan adalah ibu-ibu yang mempunyai
anak-anak kecil yang memang sedang sakit atau dimandikan di Masjid tersebut
hanya untuk kesehatan putra-putri para pelaku ritual tersebut. Dan para pelaku
ritual ini tidak hanya terfokus untuk malakukan ritual saja tetapi juga
melakukan aktifitas berjalan-jalan di pasar malam Kliwonan.
Terdapat perbedaan kegiatan dan
aktifitas para pelaku tradisi, masyarakat pendukung cenderung berbaur menjadi
satu, tidak selalu hanya melakukan salah satu kegiatan saja. Karena dalam
tradisi ini tidak bersifat mengikat satu sama lain, tetapi berfungsi sebagai
hiburan dan pelaksanaan kepercayaan saja (Koentjaraningrat, 1974: 6).
Masyarakat pendukung tradisi Kliwonan berikutnya adalah para pelaku
seniman-seniman yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mengisi acara
pertunjukan kesenian dalam tradisi Kliwonan. Para seniman dalam tradisi
kliwonan adalah orang-orang pilihan atau perwakilan dari semua kecamatan di
Kabupaten Batang. Para seniman memang tidak terjun langsung dalam acara yang
menganggap penting dalam Kliwonan yaitu pasar malam, namun secara tidak
langsung para seniman ikut maramaikan tradisi Kliwonan.
Pihak pemerintah setempat juga
berperan penting dalam tradisi Kliwonan, ataupun pihak tersebut tidak terjun
langsung sebagai pengatur jalannya tradisi Kliwonan. Pihak pemerintah yang
bersangkutan dengan pelaksanaan tradisi Kliwonan adalah KKP (Kantor Kebersihan
dan Pertamanan) yang bekerja sama dengan Polsek Batang yang menertibkan
jalannya tradisi Kliwonan, pihak Kantor Pariwisata yang menyelenggarakan
pertunjukan kesenian, dan Bagian Humas (Hubungan Masyarakat) yang bekerja sama
dengan Radio Abirawa FM yang menyelenggarakan pemutaran film serta sarana
informasi. Para pedagang yang berjualan di pasar kliwonan setiap bulannya
relatif tetap karena mereka sudah mempunyai tempat tetap untuk berjualan,
khususnya para pedagang yang tergolong besar.
Peran
masyarakat dalam mengembangkan tradisi Kliwonan
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat
kontinyu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat,
1990:146). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan
orang-orang yang terorganisasi, yang hidup dan bekerja sama, yang berinteraksi
dalam mencapai tujuan bersama (Joyomartono. 1991:12). Definisi diatas dapat
disimpulkan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan individu yang mempunyai
tujuan bersama dalam satu wilayah tertentu yang saling berinteraksi dalam waktu
yang relatif lama dengan aturan-aturan atau norma-norma yang dipatuhi bersama
serta menghasilkan suatu kebudayaan.
Setiap manusia senantiasa mengalami
perubahan, perubahan tersebut terjadi sebagai akibat kebutuhan dari masyarakat
itu sendiri yang semakinmkompleks. Perubahan-perubahan masyarakat dapat
mengenai nilai-nilai sosial,mnorma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi,
susunan lembaga kemasyarakatan, lapisanlapisan dalam masyrakat, kekuasaan dan
wewenang, interaksi sosial, dan lain sebagainya.
Tradisi Kliwonan yang ada di Kota
batang muncul sejak dulu seiring dengan perkembangan daerah Batang. Walaupun
telah ada beberapa perubahan dalam hal kegiatan yang dilaksanakan dalam tradisi
Kliwonan, namun tradisi ini mampu bertahan hingga sekarang dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi ini tetapi dipegang teguh oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai
yang terkandung dalam tradisi ini tetap dipegang teguh oleh masyarakat
pendukungnya, sehingga tradisi tersebut mampu mempertahankan keberadaannya di
tengah-tengah masyarakat seiring perkembangan jaman.
Bertahannya suatu tradisi dalam
suatu masyarakat tidaklah mudah, karena dalam suatu masyarakat pasti akan
muncul peradapan baru, karena adanya suatu perubahan sosial budaya masyarakat
tersebut. Kebudayaan tidak mungkin lestari, kalau tidak dapat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokok tertentu masyarakat pendukungnya. Kebudayaan harus
mampu memproduksi dan mendistribusikan barangbarangdan jasa, yang dipandang
perlu dalam hidup. Kebudayaan harus menjamin kelestarian biologis, dengan cara
memproduksikan anggota-anggotanya. Para anggota yang baru harus
dienkulturasikan sehingga dapat berperilaku sebagai orang dewasa. Kebudayaan
harus memelihara ketertiban diantara para anggotanya dan orang luar. Akhirnya
kebudayaan harus memberi motifasi kepada para anggotanya untuk bertahan hidup
dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang perlu untuk kelangsungan hidup itu
(Haviland, 1999: 351).
Seperti halnya dengan salah satu
kebudayaan di Batang yaitu tradisi Kebudayaan Kliwonan yang masih tetap
bertahan hingga sekarang walaupun sudah terdapat banyak perubahan dalam bentuk
dan aktifitasnya. Semua kebudayaan berubah sebagai tanggapan atas berbagai hal
seperti masuknya orang luar, atau terjadinya modifikasi perilaku dan
nilai-nilai di dalam kebudayaan.
Begitu pula dengan tradisi Kliwonan,
yang mendapatkan perubahan dalam berbagai sisi, namun mampu mempertahankan
keberadaannya walaupun bersaing dengan kebudayaan-kebudayaan baru yang mulai
bermunculan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bertahannya suatu tradisi
adalah faktor ekonomi dan sosial. Dalam faktor ekonomi sudah dapat kita ketahui
bahwa terdapat keuntungan yang didapat dari pelaksanaan tradisi. Pada tradisi
ini terdapat pasar malam memiliki keuntungan berupa pemasukan daerah Kabupaten
Batang, pemuasan bagi penjual dan pembeli di Kliwonan dan kekayaan budaya di
daerah Batang. Secara tidak langsung, masyarakat pendukung Kliwonan selalu
berusaha untuk mempertahankan tradisi ini dengan selalu melaksanakan tradisi
Kliwonan tanpa adanya pemaksaan tetapi karena adanya kebutuhan. Dalam faktor
sosial, terdapat interaksi antar anggota masyarakat pendukung tradisi, yang di
dalamnya terdapat sosialisasi yang dilakukan oleh orang-orang dewasa kepada
para anggota baru terhadap tradisi Kliwonan.
Suatu perubahan sosial dan budaya
akan berakibat menguntungkan dan merugikan. Suatu perubahan yang terjadi
mengharuskan perlunya memodifikasi pola tingkah laku. Begitu pula dengan
tradisi Kliwonan, yang cenderung memberikan keuntungan bagi semua pihak, yang
akhirnya memberikan tradisi Kliwonan kekuatan untuk terus bertahan. Jadi
tradisi ini dapat bertahan hingga sekarang dikarenakan oleh masyarakat
pendukungnya yang tetap untuk selalu melaksanakannya karena kebutuhan akan
tradisi itu sendiri.
Tata cara
dalam pelaksanaan tradisi Kliwonan
Dalam melaksanakan tradisi ini tidak
terdapat persiapan-persiapan yang khusus bagi masyarakat pendukungnya. Hal itu
karena tradisi ini merupakan sebuah pasar, maka dalam melakukan tradisi
persiapan hanya dilakukan oleh para pedagang dan tim pertunjukan kesenian. Para
pedagang biasanya mulai menjajakan barang dagangannya pada hari Kamis siang
hari. Namun terdapat diantara para pedagang ada yang sudah menempati tempat
berdagang dan memasang tenda-tenda untuk barang dagangannya sebelum hari Kamis
Wage, diantaranya yaitu para pedagang yangberasal dari luar daerah Batang.
Seperti halnya persiapan tradisi
Kliwonan, dalam tradisi Kliwonan tidak terdapat peralatan yang dipersiapkan
secara khusus masyarakat pendukungnya, karena dalam tradisi ini bersifat
individual yaitu menyangkut kepentingan masingmasing individu yang ingin
melaksanakan tradisi Kliwonan. Contohnya para pengunjung Kliwonan yang hanya
memerlukan pakaian yang pantas dan uang secukupnya untuk berjalan-jalan di
alun-alun. Para pedagang di pasar malam Kliwonan hanya perlu mempersiapkan
peralatan untuk keperluan berdagang, seperti barang yang akan diperdagangkan,
tenda untuk tempat berjualan jika ada, dan lain-lain. ibu-ibu yang melakukan
ritual memandikan anaknya di masjid pun memerlukan peralatan yang spesifik.
Para ibu tersebut hanya membawa pakaian ganti untuk anaknya yang akan
dimandikan, karena biasanya pakaian anak yang baru dimandikan akan dibuang di
bawah pohon beringin di alun-alun, namun ada juga yang tidak dibuang.
Alasan ibu-ibu membawa anak-anak
untuk dimandikan dengan air di masjid terebut sangat beragam, diantaranya
adalah karena ingin meyembuhkan penyakit yang diderita oleh anaknya,
mempercepat pertumbuhan motorik sang anak (berbicara, berjalan, dan lain-lain),
dan menghindarkan si anak dari segala penyakit, karena anak kecil biasanya
rawan terserang penyakit.
Tujuan diatas dapat disimpulkan
bahwa maksud dilaksanakannya ritual mandi adalah sebagai sarana pengobatan. Ibu
Wiwik mengaku bahwa melakukan ritual tersebut semenjak putranya lahir di setiap
tradisi Kliwonan berlangsung dan jika tidak berhalangan. Ibu Wiwik mengetahui
ritual tersebut dari para orang tua karena hal tersebut sudah menjadi kabiasaan
yang turun-temurun dan banyak orang yang mempercayainya. Dan tidak terdapat
doa-doa tertentu ketika mengiringi upacara ritual tersebut, yang dilakukan
hanya mengucapkan niat menurut kepercayaan masing-masing orang yaitu anak mencari
berkah dan penyembuhan penyakit agar diridhoi Allah SWT.
Penyelenggaraan tradisi Kliwonan
pada masa sekarang maupun jaman dahulu menjadi suatu kesepakatan bersama yang
tidak tertulis, yang dilaksanakan setiap 35 hari di malam Jumat Kliwon pada
penanggalan Jawa. Tradisi ini merupakan upacara yang bersifat individual, dalam
perlaksanaan tradisi baik pasar malam maupun ritual tergantung dari
masing-masing individu dan tidak ada yang mengkoordinasi. Hanya dalam penentuan
tempat berjualan saja yang dikoordinasi oleh pemerintah daerah. Masyarakat
sudah tahu kapan tradisi Kliwonan akan dilaksanakan tanpa disuruh dan diatur,
dan dengan sendirinya pada hari Kamis Wage sore sampai malam harinya masyarakat
pendukung tradisi mulai berbondong-bondong mendatangi alun-alun Batang untuk
meramaikan tradisi tersebut. Seperti penuturan Bapak Bambang bahwa dengan
sendirinya ia akan selalu berdagang di alun-alun kota Batang pada saat tradisi
Kliwonan, dan merupakan salah satu ajang keramaian yang dinanti-nantikan oleh para
pedagang.
Telah dikemukakan diatas bahwa tidak
terdapat koordinasi secara tertulis maupun ketetapan dalam pelaksaan tradisi
Kliwonan, karena setiap individu datang dengan maksud dan tujuan sendiri, namun
terdapat kesepakatan bersama yang tidak tertulis bahwa setiap masyarakat
pendukung akan melaksanakan ritual pada hari Kamis Wage sampai malam Jumat
Kliwon. Tindakan para pelaku ritual berjalan dengan sendirinya dan apa yang
disebut pimpinan upacara tidak terdapat di sini, karena para pelaku ritual
melakukan ritual tradisi dengan kepercayaan masing-masing. Hal ini menjadi
keunikan, karena dalam upacara Kejawen selalu mengutamakan doa-doa yang sangat
rumit, sesaji dan ada orang yang memimpin jalannya upacara. Namun dalam
pelaksaan ritual ngalap berkah tradisi Kliwonan di kota Batang tidak
mementingkan hal-hal tersebut. Doa yang mengiringi pelaksanaan ritual ngalap
berkah menyesuaikan niat dan kepercayaan masing-masing pelaku ritual, tidak ada
sesaji yang khusus dana kalaupun ada, tidak menjadi suatu hal yang mencolok,
dan jika ada pemimpin upacara hanya memimpin untuk kalangan keluarga
masing-masing pelaku ritual ngalap berkah.
Tradisi Kliwonan semula dengan
ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya dalam rangka untuk
mendapatkan berkah. Kegiatan yang dilakukan di antaranya adalah guling-guling
badan dan mandi, tirakatan, sawer. Selain ritual tersebut kegiatan lainnya
adalah mencari jodoh bagi muda-mudi, perjualan untuk mencari berkah, atau hanya
sekedar berjalan-jalan dan melihat-lihat keramaian di alun-alun. Pengunjung
tradisi Kliwonan datang pada hari Kamis Wage sore di alun-alun, di mana para
pengunjung mempunyai maksud tertentu sesuai dengan tujuannya.
Upacara ritual gulingan dilakukan di
sekitar alun-alun Batang tepatnya dilakukan di rerumputan sekitar pohon
beringin. Ritual gulingan ini biasanya diberlakukan untuk anak-anak kecil dan
dilakukan sekitar 3 menit. Bahwa dalam menggulingkan anak-anak tersebut
terdapat berbagai variasi. Dalam pelaksanaannya ada orang tua yang menambahi
ritual dengan mengusap-usap dahi anaknya, kemudian ada yang
menendang-nendangkan kaki anaknya di rerumputan serta masih banyak variasi lain
menurut kepercayan masing-masing orang yang melakukan ritual.
Makna berguling badan di rerumputan
dapat diartikan bahwa agar pelaku ritual dapat ikut merasakan pahit getirnya
orang yang serba kekurangan dan menghayati bahwa dalam meraih sesuatu itu
membutuhkan pengorbanan. Setelah mengguling-gulingkan anaknya di rerumputan
kemudian si anak dibawa ke masjid untuk dimandikan di tempat wudlu sebelah
utara atau bagian laki-laki. Seperti yang pernah diungkapkan bahwa tempat wudlu
tersebut, airnya dipercaya mengandung berkah dan dapat menyembuhkan penyakit
serta menghindarimusibah, karena diambil dari sebelah makam Sunan Sendang. Di Masjid
Agung ini ada anak-anak yang dimandikan, dan ada yang hanya dibasuh mukanya
saja.
Setelah acara memandikan tersebut
kemudian orang tua beserta sang anak kembali ke alun-alun untuk membuang bekas
pakaian yang tadi telah dipakai anak sewaktu diguling-gulingkan di rerumputan.
Makna dari membuang pakaian ini adalah mengenai sosial ekonomis masyarakat
untuk menyantuni orang-orang yang kekurangan. Terkadang dalam membuang pakaian
tersebut disertai dengan membagi-bagikan makanan kecil. Biasanya juga ada sebagian
masyarakat pendukung tradisi yang membagi-bagikan uang logam kepada anak-anak
kecil atau orang yang kekurangan di sekitar komplek Masjid Agung. Namun
sekarang sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan sodaqoh di kotak amal di
depan Masjid Agung.
Tirakatan biasanya dilakukan oleh
orang-orang dewasa pada malam hari kadang-kadang sampai pada pagi harinya.
Kegiatan yang dilakukan para pelaku ritual tersebut akhirnya mengandung
penasaran masyarakat sekitar untuk menonton dan menyaksikan acara tersebut,
sehingga ramailah suasana di malam Jumat Kliwon itu. Para muda-mudi selain
berjalan-jalan terkadang menggunakan kesempatan untuk mencari jodoh. Keramaian
malam di alun-alun itu kemudian mengundang para penjual makanan untuk dagang
dan berjualan di sana.
Yang merupakan makanan khas pada
saat Kliwonan adalah makanan Gemblong-Klepon. Gemblong berwarna putih yang
terbuat dari ketan dan diiris kotak-kotak besar. Sedangkan Klepon berbentuk
bulat-bulat kecil berwarna hijau yang terbuat dari beras ketan serta terdapat
cairan gula jawa di dalamnya. Gemblong-Ketan disajikan dengan sedikit kuah
santan dan siraman cairan gula jawa. Penjual makanan Gemblong-Klepon telah ada
dari jaman dahulu hingga tradisi Kliwonan yang sekarang. Konon katanya makanan
Gemblong-Klepon tersebut akan memberikan berkah kepada orang yang memakannya.
Bagi pedagang terdapat kepercayaan bahwa jika berdagang di Kliwonan tersebut
maka barang-barang yang ia jual akan laku keras. Andaikata tidak laku di
Kliwonan, maka terdapat kepercayaan bahwa di lain hari selama 35 hari barang
dagangannya akan laku keras.
Pada tradisi kliwonan pada jaman
dahulu juga terdapat pengajian dan dakwah di Masjid Agung. Seperti penuturan
bapak Basuki bahwa pada tradisi Kliwonan pada jaman dahulu mempunyai maksud dan
tujuan, yaitu untuk menghormati para pendahulu Batang (Bahurekso dan
lain-lain), kejawen (sarana pengobatan), dan dakwah serta pengajian.
Dalam melaksanakan tradisi Kliwonan
tidak terdapat larangan atau pantangan yang begitu berarti. Namun terdapat
kepercayan bahwa bagi orangorang yang telah menjalankan ritual guling badan dan
mandi harus membuang pakaian yang tadi telah dipakainya, karena jika hal
tersebut tidak dilakukan maka permohonannya tidak akan terkabul. Tetap
kepercayaan yang demikian agaknya sudah tidak berlaku lagi, walaupun masih ada
sebagian yang tetap melaksanakannya.
Dalam upacara ritual tidak terdapat
penutupan secara resmi, karena dalam tradisi ini bersifat individual. Jadi jika
ada orang-orang yang sudah melaksanakan tradisi tersebut, maka dengan
sendirinya ia akan meninggalkan alun-alun Batang. Jika waktu sudah menunjukkan
larut malam para pengunjung pun mulai pulang.
Seperti halnya penyelenggaraan
tradisi Kliwonan pada masa dahulu saat sekarang ini tradisi Kliwonan juga tidak
terdapat ketetapan secara tertulis tentang penyelenggaraannya. Semuanya sepakat
dan tahu bahawa pada hari Kamis Wage sore sampai malam hari akan
diselenggarakan pasar malam Jumat Kliwonan. Jadi dengan sendirinya para
pedagang mulai akan memasang tenda untuk tempat berdagang dan mulai menata
barang dagangannya sebelum hari Kamis Wage sore, yaitu ada yang pagi hari,
malam hari sebelum hari Kamis Wage sore, yaitu ada yang pagi hari, malam hari
sebelum hari Kamis Wage bahkan 2 atau 3 hari yang dalam hal ini berperan sebagai
pengunjung Kliwonan mulai berdatangan dari hariKamis Wage sore sampai malam
harinya, dan ada pula terdapat pengunjung yang mulai berjalan-jalan pada siang
hari.
Pada tradisi Kliwonan tidak terdapat
peraturan kapan dimulainya pelaksanaan tradisi tersebut. Jadi tradisi ini bisa
dilakukan setiap saat pada hari Kamis Wage tersebut sampai malam harinya.
Biasanya alun-alun mulai dipadati oleh pengunjung pada waktu sore hari yaitu
pukul 16.30 WIB. Seiring waktu, selain ramai dan padatlah alun-alun oleh para pengunjung
yang berdatangan.
Para pedagang mulai menata
dagangannya pada siang hari. Bahkan ada pedagang yang mulai berdagang dari pagi
hari seperti penjual tanaman hias dan pedagang pakaian impor. Hasil pengamatan
pada pagi hari pukul 06.00 WIB sudah terdapat pengunjung yang biasanya sedang
berjalan-jalan di pagi hari di alun-alun karena hal itu merupakan kebiasaan
masyarakat Batang pada pagi hari, kemudian tertarik untuk melihat-lihat tanaman
hias yang dijual. Satu persatu kemudian para pedagang mulai mempersiapkan
tempat berdagang dan menata barang dagangannya, yang kemudian menarik perhatian
orang-orang di sekitar alun-alun untuk sekedar melihat-lihat persiapan tradisi
Kliwonan yang masih berupa kerangka pasar malam. Orang-orang yang sedang
berjalan-jalan tersebut melihatlihat dan jika ada barang yang diminatinya maka
akan dibeli dengan harapan harganya lebih murah karena pasar malam Kliwonan
belum begitu ramai.
Pada pukul 16.00 WIB para pengunjung
mulai berdatangan dan sekitar pukul 16.30 WIB seperti menjadi awal keramaian
dari tradisi Kliwonan. Pengunjung berdatangan dari berbagai kecamatan di Batang
bahkan ada yang datang dari kota Pekalongan. Pengunjung yang terdiri dari
anak-anak muda biasanya mulai terlihat pada malam hari. Pada sore hari biasanya
terlihat orang-orang dewasa yang memang ada keperluan untuk membeli sesuatu.
Pengunjung yang berasal dari luar kecamatan Batang khususnya berjarak jauh dari
Kota Batang biasanya mengunakan jasa mobil sewaan (carteran) untuk mengangkut
para pengunjung dari rumahnya hingga alun-alun Batang. Mereka datang
berombongan baik anak muda maupun dewasa. Sedangkan pengunjung yang menggunakan
jasa angkutan umum dapat menikmati jasa tersbut hingga sampai malam hari,
karena pada hari biasanya kecuali malam Jumat Kliwon, angkutan pedesaan dan
antar kecamatan beroperasi sampai pukul 18.00 WIB.
Hubungan tradisi Kliwonan dengan
tradisi Jumat Kliwon di sungai Kramat yaitu merupakan serangkaian dari Malam
Jumat Kliwon atau Kliwon. Jika tradisi Kliwonan di laksanakan di alun-alun maka
tradisi Kliwon dilaksanakan di sungai Kramat. Tradisi Malam Jumat Kliwon dan
tradisi Jumat Kliwon dikatakan suatu rangkaian karena keduanya sama-sama
dilakukan sebagai sarana pengobatan dan juga untuk mengenang para leluhur
masyarakat Batang. Seperti dikisahkan di muka bahwa jaman dahulu Bahurekso
pernah bersemedi di sungai Kramat padahari Jumat Kliwon. Dan ternyata hari itu
dianggap mempunyai kekuatan mistis begitu pula dengan sungai Kramat yang
dipercaya dapat memberikan kekuatan kepada Bahurekso. Bapak Basuki, berpendapat
bahwa Jumat Kliwon bagi umat Islam dianggap sebagai hari besar, hari yang
dikeramatkan dan sebagai waktu yang baik untuk mengucapkan rasa syukur dan
terima kasih.
Semula maksud diadakannya tradisi
Jumat Kliwon adalah untuk mengenang dan menghayati nilai-nilai perjuangan para
pendiri kota kabupaten Batang, serta mengikuti keteladanan dari para tokoh
panutan yang telah meninggal, dan lokasi makamnya dipercaya banyak terdapat di
sekitar sungai Kramat ini. Kemudian selain untuk mengenang para leluhur,
masyarakat pendukung juga melakukan ritual ngalap berkah untuk sarana pencarian
jodoh atau sarana pengobatan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh para
orang tua pada jaman dahulu pada hari Jumat Kliwon di sungai Kramat adalah
mandi sambil memohon berkah agar dikabulkan permintaannya dan permohonan yang
sering dilakukan adalah meminta jodoh. Pangeran Mandurorejo (bupati pertama
terhitung dari tahun 1614) member semacam sugesti, yaitu para peziarah yang mau
pergi ke sungai Kramat dan sekurang-kurangnya membasuh muka dengan air sungai
tersebut, maka dia akan cepak rejeki (mendapatkan banyak rejeki) dan hilang
sebel (hilang sial) selama selapan dina (35 hari). Berkenan dengan kepercayaan
tersebut, maka peziarah dari waktu ke waktu kian bertambah.
Tradisi Jumat Kliwon dilaksanakan
pada hari Jumat Kliwon. Bertolakndengan kenyataan bahwa banyak orang yang
mengunjungi sungai Kramat tersebut dan lokasi di sekitarnya menjadi tempat
pariwisata. Tradisi Kliwonan di alun-alun tradisi Jumat Kliwon sekarang juga sudah
berubah dalam pelaksaannya. Sekarang yang terdapat di sana hanyalah pertunjukan
dangdut yang diadakan di panggung pertunjukan di dalam objek wisata kramat
dengan para penonton yang kebanyakan para muda-mudi dari desa. Jadi yang
terlihat sekarang adalah cenderung tradisi yang bersifat hura-hura daripada
kegiatan yang bersifat mistis yang pernah dilaksanakan pada jaman dahulu.
Perubahan tersebut dipengaruhi oleh pola piker masyarakat Batang yang cenderung
modern. Diharapkan dengan adanya tradisi tersebut selain dapat melestarikan
nilai-nilai perjuangan para leluhur, juga dapat menambah pendapatan Pemda
Kabupaten Batang serta kesejahteraan masyarakat pendukungnya.